“Aku harus membawa cita-citaku pulang, Oa,” ucapku saat langkahku berusaha menyejajari langkahnya yang tergesa-gesa.
“Percuma saja kau mendikte rincian cita-citamu yang segunung itu
padaku. Kau tidak akan dapat ilmu soal cita-cita dariku, kau tahu?” Nada
tenang namun sinis terlontar dari mulut Oa yang tak henti mengoceh.
“Lupakan saja cita-citamu. Cari uang yang banyak,” lanjutnya.
Uang? Apa pula ini? Tidak bisakah melakukan sesuatu tanpa benda edan yang satu ini?
“Aku bersekolah mencari kepuasan, Oa. Uang tidak bisa menjadi pemuas!”
Oa berhenti. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Oh,
begitu? Apa kau sadar, uang yang akan menyekolahkanmu? Bukan aku! Apa
sekarang kau bisa katakan kalau uang tidak bisa menjadi pemuas?” Suara
Oa meninggi. Lalu, dilanjutkannya ketika ia telah mengambil cukup nafas
untuk mengomel lagi,” Memangnya kau bisa membuktikan padaku, secepat apa
kau bisa membeli makanan dengan tumpukan kumpulan sajakmu yang tak
laku-laku itu, heh? Apa kepuasan kau dapat saat kau kelaparan dan tak
punya uang untuk membeli makanan? Dengar, kita bertahan hidup dengan
uang, bukan dengan rangkaian kata-kata hiperbola macam sajak-sajakmu.
Kau tak bisa berkoar-koar panjang membaca puisi di tengah laut tempatku
bekerja lalu semua orang bertepuk tangan, dan mereka memberimu uang
karena kau dianggap menghibur! Kau tidak sedang berada di dalam bar
seperti yang ada di kota-kota besar! Tidak akan dan tidak pernah sama,
Ata. Tidak segampang menjentikkan jari!” Ia kemudian mendengus, lalu
kembali melangkah dengan irama secepat sebelumnya.
Aku diam. Aku mengerti kenapa Oa menjadi sangat sensitif terhadapku,
juga terhadap uang. Karena kami bernasib sama. Ya, kami budak uang.
Tidak, tidak hanya kami. Aku butuh uang. Oa butuh uang. Hidup kami
bermasalah jika tak ada uang. Bukankah orang lain juga begitu? Bukankah
orang miskin juga begitu? Bahkan orang kaya bisa menginginkan lebih dari
itu. Orang miskin perlu uang agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya,
biar tak mati. Orang kaya juga masih memerlukan uang, ah, entah untuk
apa. Sampai-sampai untuk mengejar ‘sang uang’ memerlukan banyak cara
kotor yang tak masuk akal. Sekejam itukah uang hingga mampu mengacaukan
nalar seseorang?
Lupakan soal uang. Aku tak mau memperpanjang perdebatan sia-sia ini
bukan hanya karena aku juga butuh uang seperti Oa. Tapi aku juga sangat
ingin didengarkan, dan aku butuh cara untuk merealisasikan cita-citaku.
Maaf, Oa. Hanya denganmu aku bisa berkeluh kesah hari ini. Tapi aku tak
menyangka, responmu terlalu sulit untuk kuterima. Aku juga tak mengerti
kenapa setiap orang yang marah memberikan penjelasan yang panjang lebar,
dan dengan nada suara yang tinggi. Tak bisakah menyabarkan diri hanya
untuk lima menit saja? Toh tempat kerjanya tak akan lari ke tengah laut,
kalau alasannya ‘sudahlah, ngomongnya nanti saja. Aku mau pergi
bekerja’. Lagipula, ia tak akan dihukum mati karena terlambat, kalau
alasannya ‘aku sudah menghabiskan seperempat pagiku dengan membicarakan
hal yang mubazir seperti ini, dan aku pasti terlambat’. Padahal ia hanya
membuang setengah menit dari lima menit yang aku minta.
“Aku sedang tidak bernafsu mendengar keluhan apapun. Jadi maaf, Ata.
Mengeluhlah pada gurumu di sekolah. Aku rasa dia lebih mengerti,”
ujarnya sinis. “Kalau saja pak RT tidak menyuruhmu bersekolah, aku tak
akan menyekolahkanmu karena seperti tebakanku, sekolah malah membuatmu
ketergantungan.”
Apa? Ya Tuhan, sepicik itukah pemikirannya? Aku ingin membalas, mencoba
menaikkan nada suara satu oktaf mungkin membuatku sedikit lega. Tapi ia
bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Baiklah, aku rasa aku berada di
waktu yang salah. Hari ini bukanlah waktu yang tepat untuk berkeluh
kesah pada si ceking Oa.
Nama lengkapnya Samoa. Ya, hanya itu. Pantas saja, lelaki ceking itu
selalu berpikiran pendek. Dengan kata lain, menggampangkan hal yang
rumit. Untungnya ia tidak pernah memikirkan untuk mengembalikan nyawanya
ke alam baka dengan cara yang pendek. Atau mendapatkan uang dengan
jalan pintas. Aku tahu, ia seorang pekerja keras. Tetapi ia selalu
bermasalah dengan uang. Bahkan uang senilai satu sen! Oa tidak pernah
menghargai sebuah nilai keterampilan apa pun. Asal uang dalam
genggamannya, entah dalam jumlah yang sedikit atau banyak, saat itu juga
ia merasa dirinya bak raja yang dikelilingi sepuluh bidadari. Karena
artinya, Oa bisa hidup tenang meski hanya untuk beberapa jam ke depan.
Tidak akan kelaparan, dan bisa menghidupiku seperti biasa.
Jadi, aku terpaksa pulang. Menunggu Oa kembali dari kehidupan lautnya
di Kampung Apo, perkampungan nelayan. Ketika Oa kembali pukul tujuh
malam, aku bungkam. Karena aku tahu, kalau aku mengoceh soal sekolah dan
serentetan cita-citaku, seperti biasa, Oa pasti akan membalas nyinyir.
***
Pak Nardiguruku, datang tepat pukul lima. Beliau membawa tas hitam
lusuh kebanggaannya, dengan dua buah novel dan sebuah buku sajak yang
sampulnya usang. Ah, pasti ia habis mengajar di pondoksebuah tempat
perkumpulan anak-anak di bawah umur yang belajar sehabis bekerja. Memang
beliau yang mendirikannya, setelah setengah mati menjamin kepada orang
tua mereka kalau anak-anak itu tidak akan terganggu pekerjaannya. Namun
anggotanya berkurang sedikit demi sedikit, karena orang tuanya
berpikiran sama seperti Oa. Takut anak-anaknya akan ketergantungan pada
buku-buku dan sekolah. Hal tersebut menjadi momok bagi pak Nardi. Saat
seorang murid merengek meminta buku bergambar pada orang tuanya, orang
tua murid yang lain langsung meminta anak-anak mereka mundur teratur.
Sekarang, anggotanya berjumlah 5 orang tersisa, dari 25 orang enam bulan
yang lalu. Ah ya, aku ‘alumni’ pondok tersebut.
“Untukmu,” katanya ketika aku hendak bertanya. “Biar usang, yang
penting masih bisa dibaca. Aku tahu kau pasti bosan dengan buku yang
sudah-sudah.”
Aku memekik girang dalam hati. Pikiranku melayang pada Oa. Ia tak
pernah sekalipun menyisihkan sepersekian rupiah uangnya untuk
membelikanku macam buku apapun di tukang buku bekas keliling. Aku
benar-benar merasa dihargai ketika Pak Nardi memberinya. Meski aku
selalu berharap buku itu adalah pemberian Oa.
“Terima kasih banyak, Pak,” kataku sopan. “Karena Bapak, saya bisa
menghibur diri sendiri sewaktu saya dihadapkan oleh kenyataan kalau
saya…” aku diam menelan ludah. Rasa pahitnya menjalar sampai ke
tenggorokan.
“Saya mungkin tidak bisa melanjutkan sekolah. Kami kekurangan biaya.”
Pak Nardi terlihat kecewa, namun cepat-cepat ditepisnya rasa kecewa itu
dengan menghiburku. “Barangkali lain kali, Nak. Setelah kamu
berpenghasilan seperti yang diinginkan ayahmu.”
“Kata Oa, tidak ada lain kali, Pak. Tak ada besok, seminggu lagi, atau
tahun ajaran baru bulan depan. Lagipula, kalau aku bekerja, aku masih
perlu makan. Penghasilanku nanti hanya cukup untuk makan.”
“Tapi kau pintar, Nak…”
Hening. Kami kehabisan kata-kata untuk menjabarkan betapa aku sangat
ingin melanjutkan sekolah. Kata Pak Nardi, aku terampil di dunia tulis
menulis. Tapi sudahlah. Memang benar, tak akan pernah ada lain kali.
Memangnya aku bisa melanjutkan saat aku umur berapa? Setelah aku
berpenghasilan berapa? Tahun berapa? Semuanya hanya mimpi. Kata hanya
itu selalu kugarisbawahi. Keyakinan akan sebuah mimpi tak akan bisa
diubah jika fakta yang sesungguhnya tak pernah bisa diajak kompromi.
Kenapa setiap orang diharuskan untuk memiliki mimpi kalau tak bisa
dicapai? Apa artinya cita-cita untuk orang melarat sepertiku? Bagiku,
cita-cita kini sudah tak ada artinya. Tinggal aku yang pintar-pintar
memilih, karena hidup itu memang pilihan. Aku melanjutkan sekolah atau
aku kelaparan. Semudah itu! Pilih A atau B, lalu habislah perkara. Tapi
aku tak pernah tahan dengan resiko setiap pilihan yang kuambil. Ah,
mendadak hidup menjadi sulit. Atau mungkin aku yang baru menyadarinya?
Ketika Pak Nardi hendak pamit pulang, Oa datang dengan menenteng tas
plastik hitam hasil membanting tulang di lautentah apa isinya. Aku
sempat melihat mereka bertemu pandang. Dan Oadengan mulut pedasnya,
melawan pandangan Pak Nardi dengan satu kalimat sinis,”Jangan hasut
anakku dengan pelajaran tak bergunamu itu, Pak Guru. Kami tak punya
uang. Bawalah kembali buku-buku itu bersamamu. Anakku tak butuh benda
macam itu! Urus saja anakmu. Sekolahkan dia baik-baik, karena kau
menginginkannya. Kita beda prinsip, dan aku tak bisa membiasakan diri
dengan segala prinsip yang ada di kepalamu. Kau tahu, kami miskin. Kau
tahu alasanku melarangnya untuk sekolah, bukan?”
Aku terhenyak mendengar suara Oa tak selembut biasanya. Meski nada
sinis masih kental kudengar, tapi suara Oa barusan bergetar seperti
menahan tangis. Oh, tidak, tidak. Mungkin aku salah dengar.
Aku melirik pak Nardi. Beliau tetap tenang. Mungkin sudah terbiasa
menyaksikan reaksi orang tua murid mereka yang tak ingin anaknya
mengenyam bangku sekolah. “Saya hanya mengajarkan bagaimana cara anak
Anda berbicara, untuk tidak seperti ayahnya. Saya tidak pernah menghasut
siapa pun, dan anak Anda tidak pernah merasa terhasut oleh saya. Ia
punya kehidupan sendiri, Pak. Jadi jangan halangi anak Anda untuk
menentukan pilihan hidupnya kelak. Dan buku-buku ini, tidak akan saya
tarik kembali. Itu sepenuhnya hak milik anak Anda. Jangan pernah samakan
hidup Anda yang Permisi.” Pak Nardi meninggalkan Oa yang emosi, dan aku
yang kebingungan. Duh, Tuhan, apa lagi ceramah Oa yang harus aku
dengarkan hari ini?
Mereka memang mempunyai andil dalam kehidupanku. Pak Nardi yang
memberiku wejangan-wejangan, sementara Oa, menafkahiku untuk tetap
meneruskan sekolah hanya sampai saat ini. Tapi Oa tidak pernah merestui
apa yang menjadi pilihanku. Mereka adalah guru, dan aku harus dan sangat
menghormatinya.
Ya, mereka masing-masing adalah seorang guru. Hanya saja, mereka adalah dua orang yang hanya berbeda profesi.
Oa membuyarkan lamunanku dengan tepukan kecil di pundak. Suaranya melunak.
“Jadi, kau hanya tinggal memilih, Nak. Kau tahu, hidup itu memang untuk
memilih...” Kalimat Oa menggantung. Oa menghembuskan nafas panjang.
Aku menunggu kalimat Oa selanjutnya. Apakah Oa sadar saat pak Nardi
berkata demikian? Mungkin ini adalah saat yang kutunggu-tunggu. Oa akan
sadar!
“Mau aku kirim ke jermal, atau bekerja di toko Koh Apung. Aku tunggu jawabanmu besok pagi. Sekarang tidurlah.”
Ucapan tenang Oa ternyata membuatku mati rasa.
~~000O000~~
catatan :
*jermal = tempat penangkapan ikan besar-besaran yang ada di tengah laut, biasanya mempekerjakan anak-anak di bawah umur.
Baca juga
kumpulan cerpen karya Ni Galuh ginanti yang lain dalam
Cerpen "Dia Sang Abstrak" dan
Cerpen "LUCAS".