Minggu, 15 Mei 2016

Kisah Dua Gadis Kembar

Pada suatu hari tepatnya di Bandung, hiduplah dua gadis kembar yang bernama Juli dan Sofi. Namun Sofi terlahir tidak sempurna, Ia cacat di bagian muka sedangkan Juli terlahir sempurna. Mereka pun tumbuh semakin besar, hingga suatu ketika Juli dan Sofi tumbuh dewasa, Juli dan Sofi ditinggalkan kedua orang tuanya saat umur mereka menginjak dewasa.

Sejak itu Juli mulai bekerja keras untuk menghidupi Sofi saudara kembarnya yang terlahir cacat di bagian muka, ia inggin bisa melihat indahnya dunia diluar sana tapi apa daya, Sofi menyadari bahwa dirinya cacat, tidak seperti Juli yang terlahir sempurna.

Diam-diam Sofi menyukai seorang lelaki yang bernama Tristan, namun Sofi tidak berani untuk bercerita kepada Juli. Hingga suatu hari Sofi menyadari bahwa sebenarnya Tristan menyukai Juli. Sofi pun merasa kecewa ia berkata “ Saya memang tidak pantas untuk dicintai oleh lelaki yang sempurna seperti Tristan, mana mungkin dia bisa mencintai gadis cacat seperti aku ”.

Hingga suatu ketika Sofi memilih untuk bunuh diri karena malu dengan wajahnya yang cacat, sedangkan Juli yang sedang berada dikantor ingin segera pulang dan memberitahu - Cerpen Singkat, Kisah Dua Gadis Kembar - Sofi bahwa ia sudah mendapatkan uang untuk biaya operasi Sofi, Juli berkata “ Pasti Sofi senang sekarang bisa mengoperasi wajahnya dan tidak akan malu lagi untuk pergi keluar kamar ”.

Juli pun pulang dengan segera, ia tidak sabar untuk memberitahu Sofi. Saat Juli sampai di apartemen Juli memanggil-manggil Sofi, namun tidak ada jawaban dari Sofi, Juli mencari kekamar Sofi namun tidak ada. Juli pun melihat kamar mandi Sofi, dan Juli pun terkejut saat melihat Sofi tergeletak berlumuran darah.

Juli berteriak dan menangis, ia memeluk Sofi dan berkata “ Kenapa kamu lakukan ini Sofi,aku sudah mendapatkan uang untuk biaya operasimu, tetapi kenapa kamu melakukan ini dan meninggalkan aku ”.

Petugas apartemen mendengar suara teriakan dan langsung mendatangi Juli. Petugas apartemen pun terkejut melihat wanita yang ada di pelukan Juli,ia tidak mengetahui bahwa Juli memiliki saudara kembar, karena ia tidak pernah melihat bahwa di apartemen Juli ada wanita selain Juli.
***
3 tahun kemudian Juli dan Tristan menikah, awalnya mereka hidup bahagia. Pada suatu ketika Juli dan Tristan pergi untuk berjalan-jalan dan tidak sengaja mereka bertemu dengan seorang peramal dan permal itu meramal masa depan Juli dan Tristan dari sebuah kartu.

Peramal itu berkata “ Kehidupan kalian akan di ganggu oleh sesuatu yang datang dari masa lalu untuk mengambil nyawa dari salah satu di antara kalian ”. Namun mereka tidak langsung percaya dengan ramalan tersebut, terutama Tristan. Namun tanpa di sadari Juli akhirnya terpengaruh dengan ramalan tersebut dan secara tiba-tiba ia teringat pada saudara kembarnya.

Sejak Juli dan Tristan di ramal, Juli merasa tidak tenang hampir setiap hari ia mendapat mimpi buruk, tubuh yang memar tanpa sebab dan bayang-bayang tentang Sofi yang membuatnya hampir stres, dan dari situlah Juli menyadari bahwa Tristan dan hidupnya sedang dalam bahaya. Juli pun mengajak Tristan untuk menemui peramal itu kembali, kemudian Juli berkata kepada peramal itu “ Bagaiman menghentikan ramalan itu terjadi ”, Peramal menjawab “ Ramalan itu tidak dapat di hentikan dengan cara apa pun ”.

Peramal pun bergegas pergi, berbagai teror pun semakin mengancam Juli dan Tristan. Hingga suatu ketika Sofi mendatangi Juli dan menampakkan wajahnya, Juli pun ketakutan dan berteriak. Mendengar Juli bereriak, Tristan pun mendatangi Juli dan Tristan sangat terkejut melihat Sofi saudara kembar Juli istrinya. Sofi berbalik badan dan langsung menghampiri Tristan, Sofi berkata “ Kamu yang telah membuat aku seperti ini, sekarang aku akan mengakhiri hidupmu”.

Belum sempat Tristan menjawab Sofi pun langsung menjatuhkan Tristan dari atas apartemen, dan Juli berteriak sangat keras lalu berkata kepada Sofi “ Kenapa kamu lakukan ini Sofi, apa salah Tristan terhadapmu ?” Sofi menjawab “ Dia yang sudah membuat aku menjadi seperti ini ”.

Juli berkata “ Apa yang sudah di lakukan Tristan, dan mengapa kamu pergi meninggalkan aku Sofi, sebenarnya saat itu aku ingin memberitahumu kalau aku sudah mendapatkan uang untuk biaya operasi wajahmu, tapi kenapa kamu lakukan hal itu dan meninggalkan aku Sofi.

Cerpen Singkat, Kisah Dua Gadis Kembar
Aku sangat menyayangi mu ”. Sofi pun menangis dan menjawab “ Karena aku mencintaimu Tristan tetapi dia lebih mencintaimu. Aku melakukan ini semua karena aku malu akan wajah ku yang cacat, aku juga menyayangimu Juli ”. Sofi pun pergi dan akhirnya Juli hidup seorang diri. Demikianlah, Cerpen Singkat, Kisah Dua Gadis Kembar tersebut.

--- Tamat ---

Kisah Seorang Penjual Koran

Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari terasa dingin. Alam pun masih diselimuti embun pagi. Seorang anak mengayuh sepedanya di tengah jalan yang masih lengang. Siapakah gerangan anak itu? Ia adalah seorang penjual Koran, yang bernama Ipiin.

Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di tempat agen koran dari beberapa penerbit. “Ambil berapa Ipiin?” tanya Bang Ipul. “Biasa saja.”jawab Ipiin. Bang Ipul mengambil sejumlah koran dan majalah yang biasa dibawa Ipiin untuk langganannya. Setelah selesai, ia pun berangkat.

Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari satu rumah ke rumah lainnya. Begitulah pekerjaan Ipiin setiap harinya. Menyampaikan koran kepada para pelanggannya. Semua itu dikerjakannya dengan gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab.

Video Paling Laris

Ketika Ipiin sedang mengacu sepedanya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah benda. Benda tersebut adalah sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Ipiin jadi gemetaran. Benda apakah itu? Ia ragu-ragu dan merasa ketakutan karena akhir-akhir ini sering terjadi peledakan bom dimana-mana. Ipiin khawatir benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada akhirnya, ia mencoba membuka bungkusan tersebut. Tampak di dalam bungkusan itu terdapat sebuah kardus. 

“Wah, apa isinya ini?’’tanyanya dalam hati. Ipiin segera membuka bungkusan dengan hati-hati. Alangkah terkejutnya ia, karena di dalamnya terdapat kalung emas dan perhiasan lainnya. “Wah apa ini?”tanyanya dalam hati. “Milik siapa, ya?” Ipiin membolak-balik cincin dan kalung yang ada di dalam kardus. Ia makin terperanjat lagi karena ada kartu kredit di dalamnya. “Lho,…ini kan milik Pak Edison. Kasihan sekali Pak Edison , rupanya ia telah kecurian.”gumamnya dalam hati.

Apa yang diperkirakan Ipiin itu memamg benar. Rumah Pak Edison telah kemasukan maling tadi malam. Karena pencuri tersebut terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah dikumpulkannya terjatuh. Ipiin dengan segera memberitahukan Pak Edison. Ia menceritakan apa yang terjadi dan ia temukan. Betapa senangnya Pak Edison karena perhiasan milik istrinya telah kembali. Ia sangat bersyukur, perhiasan itu jatuh ke tangan orang yang jujur. 

Sebagai ucapan terima kasihnya, Pak Edison memberikan modal kepada Ipiin untuk membuka kios di rumahnya. Kini Ipiin tidak lagi harus mengayuh sepedanya untuk menjajakan koran. Ia cukup menunggu pembeli datang untuk berbelanja. Sedangkan untuk mengirim koran dan majalah kepada pelanggannya, Ipiin digantikan oleh saudaranya yang kebetulan belum mempunyai pekerjaan. Itulah akhir dari sebuah kejujuran yang akan mendatangkan kebahagiaan di kehidupan kelak.

Senin, 20 Juli 2015

Murid Baru Itu Sahabatku

            Bel masuk sekolah sudah berbunyi. Para siswa bergegas memasuki kelasnya masing-masing termasuk aku yang baru saja tiba di sekolah. Tak lama kemudian Pak Guru masuk kelas bersama seorang murid baru. Pak Guru menyuruh anak itu memperkenalkan diri.
“Hai teman-teman. Namaku Alin. Nama lengkapku Alin Ubaidillah Octaviani,” ucap anak itu.
“Oke, Alin. Kamu duduk dekat Alya, ya,” kata Pak guru.
Setelah duduk dekat denganku, aku bertanya padanya, “Hai Alin, kamu pindahan dari mana?”
“Dari Bandung,” katanya.
“Ooo. Tanggal lahirmu berapa?” tanyaku.
“Aku lahir 10 Oktober 2002,” jawab Alin. 
“Aih, hanya beda satu tahun denganku. Aku tanggal 10 Oktober 2003.”
Setelah pelajaran usai, kami shalat ashar lalu pulang. Sejak itu, setiap hari aku dan Alin bermain bersama.
Aku sering bermain di rumah Alin. Rumahnya besar dan bagus. Mobil ayahnya ada dua. Alin pernah mengajakku jalan-jalan naik salah satu mobilnya.
Sementara rumahku kecil dan tidak memiliki barang-barang sebagus Alin. Ayahku juga tidak memiliki mobil. Hanya sepeda motor yang sudah tua. Alin pernah ke rumahku sekali, itu pun hanya sebentar karena ingin meminjam buku catatan.
Hmm, mengapa Alin mau ya berteman denganku? Padahal dia dari keluarga yang berada. Dia bisa berteman dengan Nola yang sama-sama kaya. Tetapi sepertinya mereka memang tidak cocok. Nola angkuh, tidak seperti Alin yang sederhana.
Setelah satu bulan bersama dengan Alin, tiba-tiba ia berkata, “Alya. Terima kasih, ya sudah berteman denganku.” Aku hanya tersenyum.
Saat ulang tahun, ia merayakannya di rumah dan mengundang banyak teman. Aku juga diundang. Aku datang memakai gaun yang indah. Ketika acara dimulai, Alin memanggilku ke depan dan dia berkata kepada semua orang bahwa aku adalah sahabatnya. Ulang tahun kami sama sehingga hari ini ulangtahunnya dan ulang tahunku dirayakan bersama di rumahnya.
Oh, betapa bahagianya aku memiliki sahabat seperti Alin. Baiknya teramat sangat kepadaku.

Kamis, 15 Januari 2015

GURU

     “Aku harus membawa cita-citaku pulang, Oa,” ucapku saat langkahku berusaha menyejajari langkahnya yang tergesa-gesa.
          “Percuma saja kau mendikte rincian cita-citamu yang segunung itu padaku. Kau tidak akan dapat ilmu soal cita-cita dariku, kau tahu?” Nada tenang namun sinis terlontar dari mulut Oa yang tak henti mengoceh. “Lupakan saja cita-citamu. Cari uang yang banyak,” lanjutnya.
          Uang? Apa pula ini? Tidak bisakah melakukan sesuatu tanpa benda edan yang satu ini?
          “Aku bersekolah mencari kepuasan, Oa. Uang tidak bisa menjadi pemuas!”
          Oa berhenti. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Oh, begitu? Apa kau sadar, uang yang akan menyekolahkanmu? Bukan aku! Apa sekarang kau bisa katakan kalau uang tidak bisa menjadi pemuas?” Suara Oa meninggi. Lalu, dilanjutkannya ketika ia telah mengambil cukup nafas untuk mengomel lagi,” Memangnya kau bisa membuktikan padaku, secepat apa kau bisa membeli makanan dengan tumpukan kumpulan sajakmu yang tak laku-laku itu, heh? Apa kepuasan kau dapat saat kau kelaparan dan tak punya uang untuk membeli makanan? Dengar, kita bertahan hidup dengan uang, bukan dengan rangkaian kata-kata hiperbola macam sajak-sajakmu. Kau tak bisa berkoar-koar panjang membaca puisi di tengah laut tempatku bekerja lalu semua orang bertepuk tangan, dan mereka memberimu uang karena kau dianggap menghibur! Kau tidak sedang berada di dalam bar seperti yang ada di kota-kota besar! Tidak akan dan tidak pernah sama, Ata. Tidak segampang menjentikkan jari!” Ia kemudian mendengus, lalu kembali melangkah dengan irama secepat sebelumnya.
          Aku diam. Aku mengerti kenapa Oa menjadi sangat sensitif terhadapku, juga terhadap uang. Karena kami bernasib sama. Ya, kami budak uang. Tidak, tidak hanya kami. Aku butuh uang. Oa butuh uang. Hidup kami bermasalah jika tak ada uang. Bukankah orang lain juga begitu? Bukankah orang miskin juga begitu? Bahkan orang kaya bisa menginginkan lebih dari itu. Orang miskin perlu uang agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, biar tak mati. Orang kaya juga masih memerlukan uang, ah, entah untuk apa. Sampai-sampai untuk mengejar ‘sang uang’ memerlukan banyak cara kotor yang tak masuk akal. Sekejam itukah uang hingga mampu mengacaukan nalar seseorang?
          Lupakan soal uang. Aku tak mau memperpanjang perdebatan sia-sia ini bukan hanya karena aku juga butuh uang seperti Oa. Tapi aku juga sangat ingin didengarkan, dan aku butuh cara untuk merealisasikan cita-citaku. Maaf, Oa. Hanya denganmu aku bisa berkeluh kesah hari ini. Tapi aku tak menyangka, responmu terlalu sulit untuk kuterima. Aku juga tak mengerti kenapa setiap orang yang marah memberikan penjelasan yang panjang lebar, dan dengan nada suara yang tinggi. Tak bisakah menyabarkan diri hanya untuk lima menit saja? Toh tempat kerjanya tak akan lari ke tengah laut, kalau alasannya ‘sudahlah, ngomongnya nanti saja. Aku mau pergi bekerja’. Lagipula, ia tak akan dihukum mati karena terlambat, kalau alasannya ‘aku sudah menghabiskan seperempat pagiku dengan membicarakan hal yang mubazir seperti ini, dan aku pasti terlambat’. Padahal ia hanya membuang setengah menit dari lima menit yang aku minta.
          “Aku sedang tidak bernafsu mendengar keluhan apapun. Jadi maaf, Ata. Mengeluhlah pada gurumu di sekolah. Aku rasa dia lebih mengerti,” ujarnya sinis. “Kalau saja pak RT tidak menyuruhmu bersekolah, aku tak akan menyekolahkanmu karena seperti tebakanku, sekolah malah membuatmu ketergantungan.”
          Apa? Ya Tuhan, sepicik itukah pemikirannya? Aku ingin membalas, mencoba menaikkan nada suara satu oktaf mungkin membuatku sedikit lega. Tapi ia bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Baiklah, aku rasa aku berada di waktu yang salah. Hari ini bukanlah waktu yang tepat untuk berkeluh kesah pada si ceking Oa.
          Nama lengkapnya Samoa. Ya, hanya itu. Pantas saja, lelaki ceking itu selalu berpikiran pendek. Dengan kata lain, menggampangkan hal yang rumit. Untungnya ia tidak pernah memikirkan untuk mengembalikan nyawanya ke alam baka dengan cara yang pendek. Atau mendapatkan uang dengan jalan pintas. Aku tahu, ia seorang pekerja keras. Tetapi ia selalu bermasalah dengan uang. Bahkan uang senilai satu sen! Oa tidak pernah menghargai sebuah nilai keterampilan apa pun. Asal uang dalam genggamannya, entah dalam jumlah yang sedikit atau banyak, saat itu juga ia merasa dirinya bak raja yang dikelilingi sepuluh bidadari. Karena artinya, Oa bisa hidup tenang meski hanya untuk beberapa jam ke depan. Tidak akan kelaparan, dan bisa menghidupiku seperti biasa.
          Jadi, aku terpaksa pulang. Menunggu Oa kembali dari kehidupan lautnya di Kampung Apo, perkampungan nelayan. Ketika Oa kembali pukul tujuh malam, aku bungkam. Karena aku tahu, kalau aku mengoceh soal sekolah dan serentetan cita-citaku, seperti biasa, Oa pasti akan membalas nyinyir.

 ***
          Pak Nardiguruku, datang tepat pukul lima. Beliau membawa tas hitam lusuh kebanggaannya, dengan dua buah novel dan sebuah buku sajak yang sampulnya usang. Ah, pasti ia habis mengajar di pondoksebuah tempat perkumpulan anak-anak di bawah umur yang belajar sehabis bekerja. Memang beliau yang mendirikannya, setelah setengah mati menjamin kepada orang tua mereka kalau anak-anak itu tidak akan terganggu pekerjaannya. Namun anggotanya berkurang sedikit demi sedikit, karena orang tuanya berpikiran sama seperti Oa. Takut anak-anaknya akan ketergantungan pada buku-buku dan sekolah. Hal tersebut menjadi momok bagi pak Nardi. Saat seorang murid merengek meminta buku bergambar pada orang tuanya, orang tua murid yang lain langsung meminta anak-anak mereka mundur teratur. Sekarang, anggotanya berjumlah 5 orang tersisa, dari 25 orang enam bulan yang lalu. Ah ya, aku ‘alumni’ pondok tersebut.
          “Untukmu,” katanya ketika aku hendak bertanya. “Biar usang, yang penting masih bisa dibaca. Aku tahu kau pasti bosan dengan buku yang sudah-sudah.”
          Aku memekik girang dalam hati. Pikiranku melayang pada Oa. Ia tak pernah sekalipun menyisihkan sepersekian rupiah uangnya untuk membelikanku macam buku apapun di tukang buku bekas keliling. Aku benar-benar merasa dihargai ketika Pak Nardi memberinya. Meski aku selalu berharap buku itu adalah pemberian Oa.
          “Terima kasih banyak, Pak,” kataku sopan. “Karena Bapak, saya bisa menghibur diri sendiri sewaktu saya dihadapkan oleh kenyataan kalau saya…” aku diam menelan ludah. Rasa pahitnya menjalar sampai ke tenggorokan.
          “Saya mungkin tidak bisa melanjutkan sekolah. Kami kekurangan biaya.”
          Pak Nardi terlihat kecewa, namun cepat-cepat ditepisnya rasa kecewa itu dengan menghiburku. “Barangkali lain kali, Nak. Setelah kamu berpenghasilan seperti yang diinginkan ayahmu.”
          “Kata Oa, tidak ada lain kali, Pak. Tak ada besok, seminggu lagi, atau tahun ajaran baru bulan depan. Lagipula, kalau aku bekerja, aku masih perlu makan. Penghasilanku nanti hanya cukup untuk makan.”
          “Tapi kau pintar, Nak…”
          Hening. Kami kehabisan kata-kata untuk menjabarkan betapa aku sangat ingin melanjutkan sekolah. Kata Pak Nardi, aku terampil di dunia tulis menulis. Tapi sudahlah. Memang benar, tak akan pernah ada lain kali. Memangnya aku bisa melanjutkan saat aku umur berapa? Setelah aku berpenghasilan berapa? Tahun berapa? Semuanya hanya mimpi. Kata hanya itu selalu kugarisbawahi. Keyakinan akan sebuah mimpi tak akan bisa diubah jika fakta yang sesungguhnya tak pernah bisa diajak kompromi. Kenapa setiap orang diharuskan untuk memiliki mimpi kalau tak bisa dicapai? Apa artinya cita-cita untuk orang melarat sepertiku? Bagiku, cita-cita kini sudah tak ada artinya. Tinggal aku yang pintar-pintar memilih, karena hidup itu memang pilihan. Aku melanjutkan sekolah atau aku kelaparan. Semudah itu! Pilih A atau B, lalu habislah perkara. Tapi aku tak pernah tahan dengan resiko setiap pilihan yang kuambil. Ah, mendadak hidup menjadi sulit. Atau mungkin aku yang baru menyadarinya?
          Ketika Pak Nardi hendak pamit pulang, Oa datang dengan menenteng tas plastik hitam hasil membanting tulang di lautentah apa isinya. Aku sempat melihat mereka bertemu pandang. Dan Oadengan mulut pedasnya, melawan pandangan Pak Nardi dengan satu kalimat sinis,”Jangan hasut anakku dengan pelajaran tak bergunamu itu, Pak Guru. Kami tak punya uang. Bawalah kembali buku-buku itu bersamamu. Anakku tak butuh benda macam itu! Urus saja anakmu. Sekolahkan dia baik-baik, karena kau menginginkannya. Kita beda prinsip, dan aku tak bisa membiasakan diri dengan segala prinsip yang ada di kepalamu. Kau tahu, kami miskin. Kau tahu alasanku melarangnya untuk sekolah, bukan?”
          Aku terhenyak mendengar suara Oa tak selembut biasanya. Meski nada sinis masih kental kudengar, tapi suara Oa barusan bergetar seperti menahan tangis. Oh, tidak, tidak. Mungkin aku salah dengar.
          Aku melirik pak Nardi. Beliau tetap tenang. Mungkin sudah terbiasa menyaksikan reaksi orang tua murid mereka yang tak ingin anaknya mengenyam bangku sekolah. “Saya hanya mengajarkan bagaimana cara anak Anda berbicara, untuk tidak seperti ayahnya. Saya tidak pernah menghasut siapa pun, dan anak Anda tidak pernah merasa terhasut oleh saya. Ia punya kehidupan sendiri, Pak. Jadi jangan halangi anak Anda untuk menentukan pilihan hidupnya kelak. Dan buku-buku ini, tidak akan saya tarik kembali. Itu sepenuhnya hak milik anak Anda. Jangan pernah samakan hidup Anda yang Permisi.” Pak Nardi meninggalkan Oa yang emosi, dan aku yang kebingungan. Duh, Tuhan, apa lagi ceramah Oa yang harus aku dengarkan hari ini?
          Mereka memang mempunyai andil dalam kehidupanku. Pak Nardi yang memberiku wejangan-wejangan, sementara Oa, menafkahiku untuk tetap meneruskan sekolah hanya sampai saat ini. Tapi Oa tidak pernah merestui apa yang menjadi pilihanku. Mereka adalah guru, dan aku harus dan sangat menghormatinya.
          Ya, mereka masing-masing adalah seorang guru. Hanya saja, mereka adalah dua orang yang hanya berbeda profesi.
          Oa membuyarkan lamunanku dengan tepukan kecil di pundak. Suaranya melunak.
          “Jadi, kau hanya tinggal memilih, Nak. Kau tahu, hidup itu memang untuk memilih...” Kalimat Oa menggantung. Oa menghembuskan nafas panjang.
          Aku menunggu kalimat Oa selanjutnya. Apakah Oa sadar saat pak Nardi berkata demikian? Mungkin ini adalah saat yang kutunggu-tunggu. Oa akan sadar!
          “Mau aku kirim ke jermal, atau bekerja di toko Koh Apung. Aku tunggu jawabanmu besok pagi. Sekarang tidurlah.”
          Ucapan tenang Oa ternyata membuatku mati rasa.

~~000O000~~


catatan :
*jermal = tempat penangkapan ikan besar-besaran yang ada di tengah laut, biasanya mempekerjakan anak-anak di bawah umur.

Baca juga kumpulan cerpen karya Ni Galuh ginanti yang lain dalam Cerpen "Dia Sang Abstrak" dan Cerpen "LUCAS".

Senin, 12 Mei 2014

MENANTI KABAR AYAH

Aku duduk menantang angin malam, sendirian. Ini sudah malam ke-empat aku termangu di balkon rumahku, menunggu Ayah.

Ayahku pergi lima hari yang lalu kesuatu tempat di luar kota, dan dua hari setelah keberangkatan Ayah, terjadi gempa hebat yang meluluhlantahkan hampir seluruh daerah di kota kecil itu, kota tempat tujuan Ayah.
Hampir seluruh tetangga iba melihatku, anak laki-laki pincang berusia 10 tahun yang hampir sepekan ini menghabiskan waktunya hanya untuk menunggu kabar kepastian sang ayah.
***
Pagi ini adalah hari kesembilan setelah berita kejadian gempa itu, namun aku belum mendapatkan kabar tentang Ayah. Setelah menyuapi ibu sarapan pagi, aku kembali melakukan ritual yang sudah lebih dari sepekan ini aku lakukan, memeluk lutut di balkon rumahku, tak sabar menanti kepastian kabar Ayah.
Setiap hari, jantungku berdetak berkali-kali lebih cepat jika mengingat betapa dahsyatnya gempa itu. “Apakah Ayah selamat? Atau….” Kalimat semacam itu yang selalu membanjiri hampir seluruh isi kepalaku. Lalu seutas doa terpanjat dalam hatiku, selalu, kemudian kuamini.

Kadang, tubuhku bercucuran keringat dingin, itu ketika aku mengingat masa-masa bersama Ayah. Aku gelisah. Mengapa aku belum juga mendapat kabar tentang Ayah? Lalu seperti biasa, sebait harapan kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba ada keramaian yang membuyarkan lamunanku. Rangkaian kenangan tentang Ayah terurai seiring semakin kencangnya suara sirine ambulance.
Tepat di depan rumahku, sebuah mobil putih berhenti. Tiba-tiba jantungku berdetak sangat cepat, tak terkendali. Denyut nadiku tak berirama lagi. Tanganku gemetar, dan basah.
Sudah sembilan hari aku menunggu, dan akhirnya aku akan melihat lagi wajah Ayah. Aku yakin, sangat yakin bahwa Ayah ada didalam mobil putih itu.

Sambil mencoba mengatasi segala macam kekacauan yang kurasakan, aku setengah berlari menuruni jajaran anak-anak tangga yang entah mengapa terasa lebih banyak dari biasanya.
Aku membuka pintu depan. Sepertinya aku sudah ditunggu.
Entah dengan ancang-ancang atau tidak, seorang wanita memelukku erat, sangat erat. Sampai-sampai luka dibagian punggungku yang sudah hampir sembuh, terasa sakit kembali saat wanita itu mengelus-elusnya sambil samar-samar berkata “Sabar ya! Kamu yang sabar!” ditengah-tengah isakannya. Aku merasa ada yang menetes di dahiku, air mata wanita itu rupanya.

Wanita itu melepas pelukannya, tapi akupun tak melakukan apa-apa selain berdiri di depan wanita yang merupakan tetangga terdekatku tadi. Aku menyapu sekeliling rumah dengan pandanganku, ada banyak sekali warga. Wajah mereka murung, sedih, dan bahkan ada beberapa yang pipinya dibasahi air mata.
Kini jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku mulai menerka-nerka apa yang kira-kira terjadi pada Ayah. Entah bagaimana mimikku saat ini, aku bahkan tak sempat mengaturnya.
Sejurus kemudian, lewatlah empat orang pria berpakaian putih. Sepertinya para perawat. Mereka membawa… errr… entahlah, aku tak tahu apa nama besi persegi panjang itu, tapi aku tahu diatasnya terdapat seseorang yang seluruh tubuhnya ditutupi selimut. Apakah itu Ayah? Bahkan aku masih bertanya-tanya.
Wanita tadi lalu menuntunku masuk ke dalam ruang tamu rumahku yang saat ini sangat ramai, kontras dengan hatiku yang hampa.
Aku duduk tepat disamping seseorang yang berbaring itu. Pikiranku kosong sesaat, bahkan aku seperti tidak bisa merasakan apa-apa.

Perlahan, wanita tadi membuka selimut yang menutupi wajah… Ayah! Dia benar-benar ayahku! Salah satu korban gempa yang dinyatakan tewas. Wajahnya sangat pucat dan dipenuhi luka-luka mengerikan.
Walaupun aku sudah sempat menerka-nerka, tetap saja berbeda saat aku melihat dengan mata kepalaku sendiri wajah Ayah. Ayahku kini hanya tinggal jasad. Nafasku sepertinya berhenti.
Entah apa yang menjadi pemacu otot-ototku, aku berdiri dan pergi menerobos kerumunan orang-orang yang kutahu pasti merubah pandangannya terhadapku, dari iba, menjadi heran.

Tapi aku tak peduli. Seperti halnya aku tak peduli dengan keadaan tubuhku. Aku tak merasa pincang kali ini, semua luka-luka ditubuhku pun hilang sakitnya. Kurasa, aku mati rasa.
Ah, persetan dengan apa itu yang disebut rasa. Aku terus berlari menuju kamar paling belakang, tempat ibuku berada. Aku tau rumahku memang cukup besar, tapi sepertinya jarak antara ruang tamu dan kamar ibuku tidak sejauh ini. Kali ini jarak kedua ruangan itu, entah mengapa, jauh lebih jauh.

Aku sampai. Lalu masuk kedalam ruangan besar itu. Sambil mengatur nafas, aku berjalan menuju ke salah satu sudut kamar, tempat dimana ibuku duduk lemas disana.
“Ibu…” panggilku pelan sesaat setelah kakiku berhenti melangkah, aku berada kira-kira 1 meter di depan Ibu.
Ibu menatapku kosong.
Kuhela nafas panjang. “Dia sudah pulang,” ucapku kemudian.

Mata Ibu melebar, walau tetap kosong. Wajahnya terangkat. Aku tahu ia sangat terkejut mendengar kabar yang aku berikan. Tampak sedikit kecemasan dari raut wajah pucat pasinya.
“Tanpa nyawa…” aku melanjutkan kalimatku. “Dia… tewas.” Titik. Aku tahu Ibu tak memerlukan penjelasan apa-apa lagi.
Wajah cemas Ibu seketika berubah cerah saat seutas senyum lega menghiasi wajahnya.
Aku pun tersenyum, sama lepasnya dengan senyum Ibu. Senyum yang sudah sangat lama tak nampak diwajahku, ataupun Ibu.
Jujur, aku tidak pernah sebahagia ini. Terlebih bisa melihat wanita yang selama ini menanggung perih yang sangat dalam, akhirnya tersenyum.

Aku menghampiri kursi roda Ibu dan mendoronnya keluar kamar, menuju ruang tamu.
“Gak sia-sia penantian kita, Bu. Akhirnya Tuhan mengabulkan doa kita. Mulai hari ini, hidup kita bebas dari manusia laknat itu,” ucapku pada seorang wanita paruh baya yang cacat dan buta, karena kelakuan setan sang suami.
PROFIL PENULIS
Nama: Risti Kumala Sari
Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 19 September 1991
Facebook: Risti Kumala Sari
Twitter: @rsty_k